Uraian di atas kiranya cukup
mampu menjelaskan tentang fenomena sosial, kali ini giliran menilik aspek
kesejarahan. Dua pakar menjelaskan pendapatnya mengenai semarang yang minim
konflik, bahkan ketika aksi demonstrasi masa reformasi 98.
Pertama adalah Rukardi dalam
buku pecinan di Pecinan menuturkan, bahwa Semarang
dibentuk oleh banyak golongan etnis dan agama. Setelah kedatangan Ki Ageng
Pandan Arang dan kemudian menjadi pusat pertahanan VOC, kota ini berkembang
menjadi kota metropolis. Orang-orang dari luar daerah, bahkan dari luar negeri
datang dan menetap di sini. Interaksi sosial yang intensif dan berlangsung
berabad abad itu membentuk karakter masyarakat Semarang menjadi pluralis.
Kampung melayu, menurut saya bisa dijadikan studi kasus. Kawasan itu dihuni
para pendatang sejak berabad-abad silam. Sampai kini, warga masih
mempertahankan identitas kulturalnya msing-masing, tapi tetap bisa hidup
berdampingan secara damai.
Kedua, Tubagus Svarajati
memberikan kesaksian yang ditulis secara utuh dalam buku Pecinan di
Pecinan. Begini ungkapanya “Tak lama, bergantian, naik pula kepanggung tiga
sosok lain. Dua di antara mereka saya kenal baik, yakni Adhy Tristanto,
dan Igm. Edi Cahyono Santoso. Yang pertama ialah pengusaha dan ahli periklanan,
sedangkan sosok kedua adalah advokat. Saya kenal mereka dari pergaulan di
komunitas fotografi. Entah bagaimana mereka punya akses dan nyali di tengah
masa. Figur ketiga adalah Alvin Lie. Saya baru faham belakangan, Lie anak
pengusaha toserba Mickey Mouse (belakangan toko ini bersalin nama Mickey Morse)
di jalan Depok. Sekarang Mickey Morse tinggal nama saja.” Baru-baru ini
ketika merebak aksi mahasiswa diberbagai kota tentang reformasi dikorupsi,
Semarang Cenderung Kondusif meski masa yang datang mencapai ribuan.
![]() |
Warag Ngendog; salah satu kebudayaan hibrid di Kota Semarang |
Kelompok
yang Mencoba Mendominasi Tidak Mendapat Tempat di Semarang
Dalam dinamika sebagai kota
metropolitan Semarang tidak jarang diganggu oleh beberapa oknum kelompok yang
mengatasnamakan ormas Islam yang menginginkan kelompoknya untuk mendapatkan
tempat di semarang dengan cara menegasikan kelompok lain yang dianggapnya
keliru. caranya bisanya dengan demonstrasi, konfrontasi, dan simbolistik. Tidak
ada argumentasi-argumentasi yang kuat dalam aksi-aksinya, rata-rata hanya
karena sempitnya pandangan keagamaan. Hal ini bisa dilihat ketika ada
sekelompok ormas yang menolak agenda sahur bersama Ibu Shinta Nuriyah Wahid di
Gereja Katolik Petrus Raja, Ungaran Kabupaten Semarang. Kemudian pada 2017
Front Pembela Islam hendak mendeklarasikan diri di Semarang. Namun, penolakan
kembali terjadi. Deklarasi yang sedianya akan dilakukan di Rumah salah satu
pengurus, 13 April 2017, akhirnya urung dilaksanakan. Peristiwa serupa terjadi
pada Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) mengadakan acara masyirah panji rasulillah
yang digelar di DPD HTI Jawa Tengah tidak diberi ijin oleh Kapolrestabes
Semarang, Kombes Pol. Abiyoso beralasan acara tersebut berpotensi mengancam
kerukunan umat beragama di Semarang. (Kholiludin, 2019).
Dengan dua pendekatan
historis dan sosial di atas kiranya jelas bahwa di Semarang sebagai Identitas
kotanya adalah Tuan Rumah Bersama Kebudayaan, semuanya saling membersamai meski
tidak begitu intens dalam berinteraksi akan tetapi ada perjumpaan-perjumpaan
sosial yang membuat Semarang milik bersama ini bisa terbangun, dengan
solidaritas kultural masyarakatnya. Hal ini perlu dilestarikan dan
dikabarkan agar menjadi narasi besar bahwa Semarang adalah kota Toleran yang
menjaga kebhinekaan budaya di dalamnya.
Untuk menjaga hal tersebut
penulis berpendapat perlu adanya integrasi yang dibangun antara
pemerintah - Instansi Pendidikan - Lembaga Swadaya Masyarakat - Organisasi
Kepemudaan, dan masyakat secara luas agar kelompok-kelompok yang mencoba masuk
untuk merusaknya bisa terus di blokir aksesnya di kota multikultural
ini.*
*Penulis: Ahmad Sajidin
*Penulis: Ahmad Sajidin
Tidak ada komentar: