Hampir
semua orang mengenal samurai, kesatria tangguh yang berselempangkan pedang,
memiliki dua komitmen tentang tujuan dan bersiap hidup atau mati kapanpun.
Sebagaimana samurai berpedang yang menapaki sejarah negara matahari terbit, di
tanah air ini untuk era millenial, bukan lagi menjadi samurai yang
membopong bambu runcing untuk meretas kondisi yang mendarah daging dan
menyejarah, kini di bumi pertiwi, samurai berpenalah yang akan menjarah kembali
harta yang pernah dicuri, untuk kebangkitan semua klan di Indonesia. Nah,
seperti apa jurusnya? Mari kita mengintip bersama!
Indonesia
memiliki fenomena yang cukup unik, dan hanya terjadi di tanah air, yakni,
adanya anak Indonesia yang bermetamorfosis menjadi samurai pena sejak usia 5
tahun, seperti yang diungkapkan penulis besar bunda Asma Nadia pada seminar
kepenulisan "tidak ada alasan untuk tidak menulis". Jika bercakap tentang alam
business, ternyata potensi anak-anak Indonesia untuk menjadi writerpreneur
sangat menjanjikan, dengan royalti yang diperoleh saat buku terjual di pasaran.
Apalagi buku menjadi bestseller dan difilmkan. Bahkan sang penulis bisa
beroyalti mencapai M, bukan ember! Tapi M real, Miliar,
dan mampu mengembangkan usaha untuk membangun penerbitan, dan taman baca untuk
anak Indonesia, seperti yang Bunda Asma Nadia rintis hingga sekarang. Bahkan,
hanya dengan satu buku best seller, Anda bisa tidur sepanjang hari dan ATM
Anda tetap gendut terisi.
Setiap
orang punya modal, modal tidak selamanya berbentuk materi, modal itu adalah
pengalaman hidup dan khazanah keilmuwan, lalu tinggal meraciknya ke dalam
sebuah tulisan. Manusia itu mempunyai keunikan. Tidak ada orang yang sama
persis di dunia ini. Sidik jari, suara, wajah, bahkan pengalaman dan wawasan
tentunya beragam. Itulah sebuah aset yang dimiliki setiap orang.
Tidak
hanya rajin berkicau di DUMAY, karena bagi SOSMED, tulisan yang dihasilkan
hanya akan menjadi sampah bagi teknologi, jika tidak diarsipkan menjadi sebuah
buku dan menjadi alat negara asing untuk mengintip pola pikir anak bangsa. Bahkan
pengalaman kecil yang masih dianggap sepele adalah modal bagi setiap orang
untuk berkarya. Semisal umur Anda 20 tahun, di usia 5 tahun sudah mampu
mengingat pengalaman, nah Anda memiliki 15 tahun kekayaan, yang minimal bisa melahirkan
15 karya dengan merilis 1 karya pertahun. Apalagi menulis adalah parameter
kecerdasan, tentang ada tidaknya bahan yang akan ditulis, terlebih lagi, jika
ingin menulis, tentunya akan menceburkan diri ke alam keilmuwan atau biasa
disebut dengan riset, jadi penulis itu tanpa terpaksa dan disuruh pun, karena
keingintahuan akan menempa diri terus menerus belajar, untuk mendapatkan
data-data kepenulisan yang kelak disyiarkan seperti Andrea Hirata tempuh.
Setiap
orang pasti memiliki pengalaman yang berbeda, nah itu adalah aset. Tinggal
belajar untuk menuangkannya ke tulisan dan disuguhkan ke publik. Kenapa
harus pengalaman? Ya, karena pengalaman adalah riset termudah dan tidak
akan membuat pusing diawal kepenulisan, karena telah mengetahui plot/alur,
setting/tempat dan ending cerita untuk karya, bahwasanya,
pengalaman juga masuk dalam tema seksi bagi jejeran buku-buku best seller, semisal
Seri Catatan Hati karya Asma Nadia, Trilogi Negeri 5 Menara karya Ahmad Fuadi,
Laskar Pelangi Karya Andrea Hirata, dan masih banyak lagi, bisa dijelajahi di
toko buku kesayangan Anda. Tapi bukankah mereka memang orang-orang hebat?
Iya-iya. Jika Anda pernah menonton serial fenomenal Harry Potter dari sebuah
novel yang ditulis oleh J.K Rowling, bahkan penulis yang karyanya mendunia itu
pun mengalami 14 kali penolakan dari berbagai penerbit, bahkan ada penerbit
yang langsung mengembalikan karyanya di hari yang sama ia kirim.
Menjadi
samurai pena bukan tercipta dari bakat, menentukan keberhasilan dalam andil
bakat presentasinya hanya 5%, bejo atau keberuntungan sebanyak 5%, dan
90% adalah kerja keras, sebagaimana yang dituturkan dan dibuktikan oleh seorang
penulis dan motivator Isa Alamsyah. Maka, samurai pena adalah skill dan
pilihan hidup.
Berkisah
oleh novelis Habiburrahman El Shirazy tentang proses kreatif berentrepreneurship
dalam kepenulisan itu sungguh menjanjikan, ide itu adalah modal, hobi menulis
jika tekun, maka akan membawa manfaat ekonomi, dan menjadi keeksisan diri. Semisal,
ingin mengirim cerpen ke media koran, dengan 4 halaman word, jika
penulis pemula bisa mencapai sehari, ketika telah terbiasa seperti Kang Abik
atau penulis Ayat-Ayat Cinta ini, maka hanya butuh 1 jam untuk menyelesaikan 1
cerpen. 1 cerpen yang dimuat di koran mendapat fee 400 ribu rupiah, 1
bulan dapat menulis 4 cerpen yang dimuat di berbagai koran, jika 3 bulan maka
menghasilkan 16 cerpen dan dimuat, itu sudah mendapatkan 6,4 juta rupiah. Saat
itu pula, 16 cerpen itu dijadikan KUMCER atau kumpulan cerpen, dimasukkan ke
penerbit, dan diterima, karena karya yang telah dimuat di koran adalah jaminan
bahwa karya itu bagus, penerbit begitu antusias, 1 buku dibandrol dengan
harga 50 ribu rupiah, dan royalti 5% adalah 2500 rupiah, laku dipasaran
sebanyak 100 eksemplar, akhirnya mendapat 2,5 juta rupiah dan Anda masih tidur
di rumah, sedang dalam 1 bulan terjual 4000 eksemplar, dengan royalti yang
diterima penulis sebanyak 10 juta rupiah. Tidak hanya sampai di situ, tiba-tiba
ada PH atau Production House yang melamar karya Anda karena buku bestseller
dan judulnya begitu menarik, dari 16 cerpen, PH meminang 2 cerpen untuk
dijadikan film dan FTV, dari film ditawari 75 juta rupiah, sedang FTV dihargai
10 juta rupiah, belum lagi dengan bonus semacamnya, saat film booming.
Ketika film Ayat-Ayat Cinta booming, PH hendak memberi bonus berupa uang
tunai, sedang Kang Abik menolak, dan menawarkan ingin berpetualang ke tiga
negara eropa, yakni Belanda, Perancis, dan Jerman, agar bisa menambah karya dan
inspirasi yang akhirnya diacc oleh PH, dan beliau juga mengajak adiknya.
Inilah contoh kecil yang pengaruhnya besar dari sebuah CERPEN, maka akan maha
dasyat lagi ketika membahas novel dan skenario dalam dunia entrepreneurship.
Dengan
kekuatan manfaat ekonomi yang dipanen, apalagi jika karya tembus di luar
negeri, akan menjadi harga, kebanggaan dan wajah bagi bangsa. Tidak hanya
manfaat ekonomi, tapi proses kreatif untuk memberikan mutu bacaan anak bangsa
yang akan mempengaruhi pola pikir mereka, dengan karya yang mengikat kearifan
lokal dan moral. Tulislah sesuatu yang tidak akan membuat diri menyesal
dikemudian hari, dari tulisan yang beredukasi dan kelak dibawa ke dunia
perfileman, maka ruang edukasi bagi masyarakat akan cukup besar. Karena pola
pikir rakyat begitu ditentukan dari buku yang dibaca dan film yang ditonton.
Jadi
kapan akan menulis? Ya, sekarang juga! Karena menulis itu skill bukan
bakat, maka latihlah dengan memperbanyak jam terbang, dibarengi dengan membaca,
karena membaca adalah kuliahnya penulis, jika tidak membaca, apa yang bisa
ditulis? Seperti berjualan, jika tidak punya barang apa yang mau dijual?
Seperti seorang samurai, jika tidak punya pedang, bagaimana bisa bertarung?
Pena
adalah pedangnya penulis, bagi samurai seperti yang ditulis Boye de Mente dalam
buku 42 Rahasia Hidup Bahagia Ala Samurai, adalah fokus pada tujuan dan hidup
atau bersiap mati kapan pun, begitupun bagi dunia literasi, jurus itu sungguh bisa dilatih, jurus yang
mengobarkan semangat kepenulisan dan perjuangan pertaruhan hidup atau mati
kualitas bacaan bangsa untuk tanah air.
Menulis
adalah jurus untuk mewariskan kekayaan khazanah keilmuwan bagi anak cucu.
Dikisahkan oleh bunda Asma Nadia di SalingSapa.com, mempunyai seorang
teman yang berpengalaman haji dan umrah sungguh luar biasa, sekitar 50 kali ke
tanah suci. Pertanyaan apapun yang dilemparkan, bisa dijawab dengan jawaban
menyejukkan, teman bunda yang mempunyai wawasan luar biasa itu ketika
meninggal, dan belum sempat menulis buku, maka jasad dan keilmuwan yang bisa
diwaqafkan ke anak cucu tanah air terkubur bersama. Maka, menulislah dan Anda
akan hidup 1000 tahun lagi.
Intinya,
tidak ada alasan untuk tidak menulis, jika dibutuhkan pena untuk menulis alasan
kenapa Anda harus menulis, maka tinta pena itu bisa habis. Menghidupkan visi-misi
dalam kepenulisan akan membuat tangan ini takkan pernah tidur untuk menulis,
karena Writerpreneurship bukan hanya tentang business dan
memperkaya diri, tapi memperkaya jiwa, dan membentuk moral anak bangsa dengan
bacaan berkualitas. Satu peluru hanya mampu menembus satu kepala, namun satu
tulisan mampu menembus ribuan bahkan jutaan kepala (Sayyid qutb).
Jika
kau bukan anak raja dan juga bukan anak ulama besar maka menulislah (Imam Al
Ghazali). Begitu banyak petuah-petuah dari seorang tokoh bersejarah tentang
kepenulisan, maka jadilah salah seorang samurai pena untuk menyejarah dan ikut
andil dalam kebangkitan bangsa dan menjarah kembali kekayaan yang ditimbun para
penyusup.
Saat
di sekitar kita masih bermandikan kejelataan, maka tugas kita menjadi kaya dari
writerpreneurship untuk berbagi kepada saudara-saudara setanah air. Anak
Indonesia harus cerdas menginspirasi, dan menghunus kegalauannya dari tontonan film
konspirasi yang mencuci otak mereka, sehingga lupa untuk memikirkan nasib
beberapa klan masyarakat dengan lingkungan yang bersimbah kumuh.
Maka
mulailah dari bacaan positif dan berkualitas melalui konsumsi buku, mengamati
sekitar, menyimak keresahan Indonesia, kelak akan menyeduh ide-ide kreatif
untuk memberitahukan pada khalayak melalui tulisan kalau ternyata kita punya
tugas bersama, yang hanya bisa kita retas ketika erat berpadu bahu. Jika
Theodor Herzl saja bersemangat untuk membentuk negara Yahudi yang mengalami
polemik karena bangsanya terpisahkan dan menyebar di seluruh penjuru dunia, melalui
bukunya Der Judenstaat, maka kita sebagai anak Indonesia yang mayoritas muslim
harus lebih berjuang lagi, karena apa
yang kita lakukan selama itu baik adalah jihad dan ibadah.
Anak-anak
Indonesia harus berperangai seperti samurai, yang mempunyai tujuan hidup jelas,
mengabdi penuh, dan bersiap hidup atau mati kapan pun untuk tanah air seperti
para pahlawan yang gugur di medan jihad. Bukan mati karena narkoba, miras
oplosan, atau mati karena putus cinta seperti Romeo dan Juliet. Hidup itu hanya
sekali, hidup bukan seperti Mermaid yang mati menjadi gelembung di lautan,
tanpa fosil sejarah. Jangan menua tanpa karya (Ridwan Kamil). Sungguh malu luar
biasa, ketika memandang sejarah tentang perjuangan pahlawan yang mendarah
daging dan mempertahankan tanah air, agar berlepas cekik dari tirani penjajah
selama beratus tahun untuk menjaga api semangatnya, agar api perjuangan tidak
sampai redup bahkan mati ke anak cucu, yang akan berperangai seperti
orang-orang Israil yang dipecut oleh Fir'aun dan begitu legowo, untung
saja di tengah mereka ada nabi Musa yang menyalakan api semangat itu ketika
pasrah telah menjadi mindset. Dan hebatnya Indonesia mempunyai pejuang
berjiwa nabi Musa yang terus mengobar api perjuangan. Maka tugas kita adalah
menyimak kembali sejarah, dan membagikannya, agar penghargaan pada tanah air
senantiasa hidup mengudara.
Hampir
semua orang mengenal samurai, kesatria tangguh berselempangkan pedang, memiliki
dua komitmen tentang tujuan dan bersiap hidup atau mati kapanpun. Sebagaimana
samurai berpedang yang menapaki sejarah negara matahari terbit, di tanah air
ini untuk era millenial, bukan lagi
menjadi samurai yang membopong bambu runcing untuk meretas kondisi yang
mendarah daging dan menyejarah, kini di bumi pertiwi, samurai berpenalah yang
akan menjarah kembali harta yang pernah dicuri, untuk kebangkitan semua klan di
Indonesia.
Tidak ada komentar: