Dalam minggu-minggu ke depan, umat muslim tampak jelas mempersiapkan diri untuk pulang ke kampung halaman. Pulang ke kampung halaman merupakan moment yang dinanti-nanti kedatangannya. Bahkan, momen ini menjadi tradisi setiap tahun menjelang idul fitri atau lebaran. Pulang ke kampung halaman inilah yang kemudian disebut tradisi mudik. Bicara mudik, Umar Kayam (2002) berpendapat bahwa mudik sejatinya merupakan manifestasi dialektika kultural yang sudah eksis berabad-abad lamanya.
Jika demikian, tradisi mudik sebenarnya mempunyai dimensi kultural. Tradisi mudik menjadi ruang untuk para pemudik bertemu dengan teman, sanak keluarga dan tetangga. Setelah sekian lamanya berpisah, mudik menjadi satu kesempatan yang bisa melepas dahaga rindu.
Lebih jauh, meminjam analisa Emha Ainun Najib (1994) tentang mudik, para pemudik sebenarnya memenuhi tuntutan sukma untuk bertemu dan berakrab-akrab kembali dengan asal-usulnya. Pemudik mengakui bahwa dirinya berasal dari suatu akar kehidupan seperti etnik, alam semesta sampai tuhan-Nya, sehingga panggilan itu harus dipenuhinya.
Dalam rangka memenuhi dirinya untuk hadir di tengah komunitas asal-usulnya, tak jarang pemudik rela merogoh kocek dalam-dalam hanya untuk mendapatkan tiket pulang ke kampung halamannya, rela berdesakan sampai bersabar menghadapi kemacetan di jalan menuju kampung halaman. Bahkan bisa dikatakan, mudik menjadi salah satu ruang untuk melepas kepenatan, dikejar waktu kerja yang tak pernah usai, sampai pada hilangnya dimensi kerohanian karena waktunya habis dilahap oleh hal-hal duniawi sebagaimana terjadi di tempat rantau.
Dimensi Konsumerisme
Mudik sebagai kesempatan pulang ke tempat asal-usulnya, tak jarang pula dibumbui dengan pernak-pernik konsumerisme. Tradisi mudik sebagai tradisi kultural keagamaan menjelang lebaran, perilaku sosial para pemudik tak dapat dimungkiri justru bersifat konsumtif.
Pulang ke kampung halaman oleh mereka dijadikan sebagai arena sosial untuk menunjukkan keberhasilan-keberhasilan yang dicapai selama berada di rantau. Tak jarang untuk melegitimasi keberhasilan yang dicapainya, para pemudik mengumpulkan simbol-simbol kalau perlu dengan merekayasa dan bahkan memanipulasi yang bermakna suatu keberhasilan.
Ajang pamer dalam tradisi mudik dalam konteks sosiologi kritis, sebenarnya tidak berangkat dari ruang hampa. Ajang pamer kadangkala muncul bukan atas kesadaran kebutuhan para pemudik pulang ke kampung. Ada kondisi sosial yang mendorong perilaku tersebut. Ada “kekuatan maha dahsyat” yang memicu perilaku pemudik untuk membeli barang-barang bagus, menggunakan mobil (mungkin juga rental) ketika pulang kampung, membeli oleh-oleh yang bersifat sekunder pun tersier dan lain sebagainya.
Latief Wiyata menjelaskan bahwa pola hidup tersebut sebenarnya memang sengaja ditumbuhkan oleh “suatu kekuatan maha dahsyat” dalam sistem ekonomi yang sangat kapitalistik. Menurutnya, para produsen dari semua produk, khususnya barang-barang untuk kebutuhan sekunder, tersier dan seterusnya sengaja dan terus menerus diproduksi secara massal dan dalam skala masif. Tidak berhenti sampai di situ, para produsen juga terus memproduksi dan mereproduksi citra (image) dari jenis-jenis barang tertentu agar menjadi simbol-simbol yang bermakna keberhasilan hidup seseorang (Mencari Madura, 2013).
Dalam situasi dan kondisi ini, ajang pamer keberhasilan yang ditunjukkan para pemudik di kampung halaman tidak lebih berasal dari dorongan ekonomi kapitalistik, hasil dari kontruksi sosial-budaya masyarakat konsumer, yang tidak disadari mendorong perilaku mudik yang konsumtif. Di titik inilah, mudik menjadi dimensi budaya konsumerisme yang ditandai dengan perang identitas kelas melalui citra keberhasilan. Aktivitas mudik yang sebelumnya didorong berdasar kebutuhan (need) untuk bertemu dengan keluarga, mengingat kembali dari mana mereka berasal, kini dikendalikan oleh dorongan keinginan (want) yang tak terpuaskan.
Transformasi Budaya Kota
Parahnya lagi, perilaku konsumtif di atas tidak hanya mengendap pada diri para pemudik. Jelas bahwa, kampung halaman menjadi panggung pertunjukan keberhasilan yang dimodifikasi melalui citra dan simbol yang dimanfaatkan oleh pemudik. Pamer keberhasilan dipertunjukkan kepada masyarakat desa, tempat kampung halamannya. Yang juga akan mempengaruhi pola pikir masyarakat desa. Dengan demikian, perilaku konsumtif mengalami tranformasi dengan sendirinya. Perilaku tersebut menular, di mana sebelumnya hanya di alami oleh para pemudik yang berasal dari kota, lambat-laun juga akan menjadi pola perilaku kehidupan sosial masyarakat desa.
Fakta tersebut bukan hanya pengalaman dan pengamatan secara pribadi, tapi indikasi kebenarannya bisa dilihat dengan kasat mata. Bisa dibuktikan, bahwa kehidupan sosial yang terjadi di desa dan kota nyaris tidak dapat dibedakan. Jika dulu masyarakat desa kental dengan nilai-nilai guyub, kini mulai muncul riak-riak indivdualisme. Jika dahulu kesedehanaan menjadi ciri khas masyarakat desa, kini telah hilang digantikan dengan pernak-pernik budaya konsumerisme sebagaimana terjadi di kota.
Dengan demikian, tradisi mudik yang seharusnya menjadi ruang refleksi, menyendiri untuk melepas kepenatan masyarakat kota dan menjadi ruang pelepas rindu dengan keluarga dan sanak famili malah yang terjadi justru sebaliknya. Kampung halaman menjadi ajang pamer keberhasilan yang dicitrakan melalui simbol-simbol dan tanda, serta yang lebih fatal adalah menjadi tranformasi budaya konsumeris dari masyarakat kota ke masyarakat desa.
sumber
Tidak ada komentar: