Berikan kepadaku
sepuluh pemuda..." adalah sepenggal kata-kata yang pernah diungkapkan
oleh presiden pertama kita, Soekarno, pada zaman perjuangan kemerdekaan.
Kata-kata tersebut tentu bukan sekadar retorika kosong, sebab pemuda
dengan semangatnya yang menggelora memang kekuatan yang sangat dahsyat.
Pemuda,
di belahan mana pun di dunia ini, adalah generasi yang akan menjadi
tulang punggung bangsa dan negaranya di masa depan. Pada diri mereka
harapan segenap bangsa disandarkan; pada semangat dan keberanian mereka
suara dan kehendak rakyat disemayamkan. Pendek kata, pemuda, sebagaimana
ungkapan yang sering disitir orang, adalah harapan bangsa.
Secara
historis, peran pemuda di negara Indonesia tidak dapat dibantah.
Soekarno, Hatta, Sjahrir, tanpa bermaksud mengabaikan tokoh-tokoh lain
yang tidak tercantumkan di sini, adalah representasi kaum muda Indonesia
ketika itu. Mereka berjuang dengan segenap jiwa dan raga demi meraih
kemerdekaan dari kaum penjajah sehingga berdirilah Republik Indonesia
yang diakui dunia sampai hari ini.
Ideologi yang Rapuh
Jika
di masa lalu peran pemuda Indonesia begitu besar, apakah pemuda-pemuda
Indonesia hari ini dapat melakukan hal yang sama, atau setidaknya
mewarisi semangat perjuangan mereka? Jawaban terhadap pertanyaan ini
tentu tidak cukup bijak kalau diajukan secara sederhana atau secara
hitam-putih, misalnya ya atau tidak. Tetapi penulis berusaha
mengedepankan bagaimana kondisi kekinian yang menimpa para pemuda di
negara kita.
Di
antara kondisi kekinian yang ingin penulis kemukakan di sini adalah
problem kultural yang menghinggapi banyak pemuda Indonesia. Masalah
kultural sebenarnya bisa mencakup banyak hal, seperti cara berpikir,
bertutur, bersikap, berperilaku, gaya hidup (lifestyle) dan sebagainya.
Tetapi penulis akan menekankan di sini pada aspek ideologi yang agaknya
kurang dijadikan elan vital oleh pemuda masa kini.
Di
tengah gencarnya arus globalisasi--kadang ada yang memelesetkan dengan
gombalisasi--yang sulit dibendung, problem kultural di atas kian parah.
Godaan gaya hidup hedonistis-kapitalistik yang notabene buah dari
globalisasi di kalangan para pemuda luar biasa kuat. Parahnya, hal ini
tidak saja terjadi di kalangan pemuda kota, tapi juga di kalangan pemuda
desa karena adanya televisi. Iklan-iklan gaya hidup yang menawarkan
kenyamanan dan kenikmatan hidup di media elektronik ini demikian gencar
dan massif sehingga mampu meruntuhkan sendi-sendi pertahanan para pemuda
tersebut.
Oleh
karena itu, para pemuda yang tidak mempunyai bekal ideologi yang kuat
akan dengan mudah terseret arus tersebut. Persoalannya adalah generasi
muda masa kini, berbeda dengan generasi muda masa dahulu, pada umumnya
mempunyai ideologi yang rapuh. Jika di masa lalu "ideologi perjuangan"
mampu menjadi elan vital para pemuda dalam mengenyahkan penjajah, maka
ideologi apakah yang dipegang para pemuda masa kini untuk menyingkirkan
godaan-godaan gaya hidup hedonistik-kapitalistik tersebut?
Jebakan Pragmatisme
Salah
satu musuh besar dari para aktivis muda sejak zaman dahulu sampai
sekarang adalah pragmatisme. Akbar Tanjung, Fahmi Idris, dan angkatan 66
lainnya pernah dituding sebagai aktivis-aktivis muda pragmatis ketika
memasuki dunia birokrasi. Pasalnya, pragmatisme biasanya berorientasi
pada tujuan politik sesaat atau jangka pendek sehingga pada gilirannya
akan memudarkan sikap independensi dan kekritisan pemuda, dua hal yang
merupakan karakteristik pemuda.
Pada
masa sekarang jebakan pragmatisme justru jauh lebih kuat. Godaan
pragmatisme yang sangat kuat akhir-akhir ini adalah berasal dari partai
politik (parpol). Sejumlah 38 parpol yang telah dinyatakan sah dan
berhak ikut bersaing dalam pemilu 2009 sangat gencar mendekati kalangan
pemuda untuk dijadikan caleg-caleg mereka. Bahkan hampir semua parpol
menjadikan kalangan pemuda dalam kerangka membangun citra (image
buiding) yang baik ketika wacana kepemimpinan kaum muda mencuat dalam
berbagai perbincangan nasional akhir-akhir ini.
Sumber : http://www.uinjkt.ac.id/
Tidak ada komentar: